Laman

Monday 27 January 2014

Suku Rampi' Sul-Sel


Suku Rampi (Leboni), adalah suatu komunitas masyarakat yang mendiami daerah pegunungan di kabupaten Luwu Utara provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya berada di desa pegunungan yang berhawa sejuk. Suku Rampi disebut jug sebagai suku Leboni. Populasi suku Rampi sebesar 11.000 orang.

Pemukiman suku Rampi tersembunyi di dataran tinggi pegunungan, mereka berada di 6 desa yang terletak di kecamatan Rampi dan juga tersebar di kecamatan Seko dan kecamatan Limbong. Mereka hidup di bawah hukum tradisional mereka. Mereka tidak memiliki konsep penjara atau penegak hukum, sistem kemasyarakatan mereka seluruhnya diatur oleh hukum adat.

Suku Rampi mayoritas adalah pemeluk agama Kristen. Beberapa tempat ibadah atau gereja terlihat dengan kondisi yang masih sederhana berdiri di setiap perkampungan suku Rampi. Walau begitu mereka tetap menjalankan ibadah mereka dengan tekun dalam setiap setiap kegiatan ibadah gereja.

Keberadaan suku Rampi ini tidaklah sepopuler suku Bugis, suku Toraja, suku Makasar dan suku Mandar yang berada di provinsi Sulawesi Selatan. Tetapi sebenarnya suku Rampi memiliki sejarah yang sama panjang layaknya suku-suku lain di Sulawesi Selatan.

Bukti penemuan Patung Megalitik dengan wajah seorang perempuan di desa Onondowa, menunjukkan bahwa daerah ini telah mengalami sejarah panjang sejak 2.000 tahun yang lalu. Hanya untuk penemuan ini tidak pernah dilakukan penelitian yang mendalam oleh para peneliti. Padahal penemuan ini mungkin dapat mengungkap rahasia sejarah purba di tanah Sulawesi yang memiliki peradaban tua di Indonesia seperti di pulau Sumatra.

Sampai saat ini tidak ditemukan informasi yang akurat mengenai peradaban suku Rampi pada masa awal kehadiran di tanah Rampi ini. Dari keberadaan patung megalitik yang ditemukan di desa Onondowa dan desa Dodolo di Luwu Utara, diasumsikan bahwa suku Rampi telah hadir di wilayah ini sejak masa 2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan patung-patung Megalitik ini berusia sekitar  2.170 tahun. Hanya yang menjadi pertanyaan, apakah suku Rampi ini adalah suku bangsa yang sama dengan pada masa patung-patung Megalitik ini dibuat ? ataukah suku Rampi hanya pendatang baru di wilayah ini, sedangkan suku asli di wilayah ini telah bermigrasi ke wilayah lain. Tentunya harus dilakukan penelitian yang lebih mendalam, untuk menyingkap rahasia patung Megalitik ini.

Pemukiman suku Rampi terdiri dari rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu. Di dalam rumah tidak memiliki kursi, hanya menggunakan tikar pandan anyaman yang berfungsi sebagai tempat duduk. Hanya beberapa rumah saja yang memiliki kursi dan lemari pakaian. Kebanyakan mereka menggantung pakaian pada tali yang dibentang di ruangan rumah, atau dibungkus dalam kain sarung membundel dan diletakkan di sudut rumah.

Suku Rampi pada masa lalu adalah suku pemburu yang mahir, hingga kini mereka masih menjalankan tradisi berburu di hutan-hutan pegunungan di wilayah Luwu Utara ini. Hanya saja saat ini karena binatang buruan sudah jauh berkurang, sehingga salah satu binatang yang dilindungi pun mereka buru, yaitu Anoa. Sebenarnya mereka paham bahwa binatang Anoa, adalah binatang yang dilindungi, tetapi mereka hanya patuh pada hukum adat. Hukum adat suku Rampi mengizinkan untuk memburu binatang anoa ini, tapi dengan beberapa syarat.


berburu Anoa
pic: shamawar

Suku Rampi sangat menyukai daging anoa, karenanya anoa ini sering diburu. Perburuan anoa disebabkan oleh sulitnya mereka memperoleh sumber protein. “tak seluruh warga desa punya ternak”, begitulah menurut mereka. Menurut mereka jika mereka dilarang berburu anoa, maka pemerintah harus mencari solusi agar masyarakat suku Rampi dapat mengkonsumsi unsur protein hewani, seperti sapi, kerbau atau kambing.

Salah satu desa, yaitu desa Onondowa, dipimpin oleh Tokoi Bola (Kepala Dewan Adat), yang dibantu oleh 9 anggota dewan yang berfungsi sebagai: Kabilahan (hakim), Topekoalo (juru bicara), Bololae (penjaga / penghubung), Topobeloi (pertanian dan kehutanan ahli), Pantua (pakar keuangan "menteri." ), Tobolia (ahli kesehatan), Timoko (ternak ahli), Pongkallu (yang bertanggung jawab atas start-up kegiatan) dan Pobelai (tanah membawa kembali).

Suku Rampi memiliki aturan adat yang unik. Mereka tidak boleh menyebut sembarang kata yang berkaitan dengan nama orang tua atau nama mertua. Misalnya nama orang tua atau mertua, si "kulit", berarti dalam keseharian sang anak atau menantu, tidak boleh menyebut kata "kulit", atau orang tua dan mertua bernama "suara", maka harus berhati-hati untuk tidak mengucapkan kata "suara" di depan orang tua atau mertua. Apabila hal ini dilanggar, akan mendapatkan sanksi adat.

Masyarakat suku Rampi pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, mereka membuka lahan sawah yang hanya dikerjakan sekali setahun. Di saat tidak ada kegiatan mereka berburu di hutan sekitar kampung pemukiman mereka. Hasil buruan sebagian dikonsumsi sendiri dan sebagian lagi di jual ke pasar lokal. Selain itu mereka mencari madu hutan dan membuat minuman keras dari air kelapa.

sumber:

  • shamawar.wordpress.com
  • palopopos.co.id
  • joshuaproject.net
  • wikipedia
sumber lain dan foto:
  • ariefrahmans.blogspot.com
  • shamawar.wordpress.com

No comments:

Post a Comment